Bisnis.com, SEMARANG - Guru Besar sekaligus Ekonom Universitas Diponegoro (Undip) FX Sugiyanto menyebut keputusan pemangkasan anggaran harus melalui studi yang mendalam.
Efisiensi anggaran pemerintah yang tertuang dalam Instruksi Presiden (Inpres) No.1/2025 menuai kontroversi.
Kebijakan Presiden Prabowo Subianto itu memaksa kementerian/lembaga pemerintah untuk memangkas anggarannya.
Bahkan, penghematan besar-besaran itu juga mesti dilakukan pemerintah daerah karena adanya pengurangan alokasi Transfer ke Daerah (TKD).
Menanggapi hal tersebut, Guru Besar sekaligus Ekonom Universitas Diponegoro FX Sugiyanto, menyebut pemangkasan anggaran mesti dilandasi oleh alasan yang relevan.
Selain itu, dampak dari pemangkasan tersebut mestinya bisa dilihat secara positif meski dengan anggaran yang minim.
Baca Juga
"Artinya target bisa tercapai tetapi anggaran dikurangi, itu kan bagus," kata FX Sugiyanto saat ditemui wartawan pada Rabu (12/2/2025).
Sayangnya, efisiensi anggaran pemerintah dilakukan secara "gebyah uyah" atau disamaratakan untuk semua sektor, dari tingkat pusat hingga ke daerah.
Hal tersebut menimbulkan pertanyaan bagi Sugiyanto. Pasalnya, pemerintah semestinya melakukan penelitian atau asesmen untuk menemukan celah pemborosan anggaran yang perlu ditambal dengan efisiensi.
"Artinya, harusnya tidak semua [mengalami efisiensi anggaran]. Kecuali kita mengakui di semua sektor terjadi keborosan. Kalau pun semua sektor boros, apakah tingkatnya sama? Kalau tingkatnya tidak sama, yang [keborosannya] besar-besar yang harusnya dipotong," papar Sugiyanto.
Dia menyebut langkah efisiensi mestinya dilandasi oleh desain kebijakan yang memang telah disusun sejak awal dan bukan melalui Inpres yang justru mengubah alokasi Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) yang sudah diterapkan sebelumnya.
Lebih lanjut, Sugiyanto menyebut layanan publik yang dinikmati banyak orang seperti pelayanan kesehatan, pendidikan dasar, serta administrasi semestinya tidak mendapatkan pemangkasan anggaran.
"Yang harus dipotong adalah memang unit atau bagian yang teridentifikasi ada keborosan. Pertanyaannya, pemerintah cukup enggak datanya?" ucapnya.
Tanpa identifikasi dan validitas, akan sulit untuk mengukur sejauh mana dampak dari penghematan yang mesti diambil tersebut.
Jika dilakukan serampangan, lanjut Sugiyanto, imbas negatif justru bakal dirasakan oleh banyak pihak. Seperti misalnya pemberhentian tenaga lepas di Lembaga Penyiaran Radio Republik Indonesia (RRI) dan Lembaga Penyiaran Publik TVRI.
"Menurut saya, kayak-kayak gitu perlu dicek. Di mana letak pemborosannya? Kalau ternyata tidak ditemukan letak pemborosan dan dipotong [anggarannya], itu artinya yang dirugikan publik," pungkas Sugiyanto.