Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Risiko Kredit dan Operasional Bayangi BPR di Jateng

OJK mengingatkan pelaku industri keuangan, termasuk BPR, untuk menerapkan prinsip Governance, Risko, dan Compliance (GRC) untuk memitigasi risiko bisnis.
Kepala OJK Provinsi Jawa Tengah-DI Yogyakarta Hidayat Prabowo, saat ditemui wartawan pada Senin (7/7/2025)/Bisnis-Muhammad Faisal Nur Ikhsan
Kepala OJK Provinsi Jawa Tengah-DI Yogyakarta Hidayat Prabowo, saat ditemui wartawan pada Senin (7/7/2025)/Bisnis-Muhammad Faisal Nur Ikhsan

Bisnis.com, SEMARANG - Risiko struktural masih membayangi kinerja Bank Perekonomian Rakyat (BPR) dan BPR Syariah (BPRS). Tantangan itu memerlukan perhatian serius, terlebih di tengah ketidakpastian ekonomi dan transformasi sektor jasa keuangan.

Kepala Otoritas Jasa Keuangan (OJK) Provinsi Jawa Tengah-DI Yogyakarta, Hidayat Prabowo, menyebutkan bahwa risiko kredit dan risiko operasional menjadi dua risiko utama yang dihadapi oleh sektor BPR saat ini.

“[Terutama] tetap risiko kredit, karena itu usaha utama BPR. Kemudian risiko operasional,” ujarnya saat ditemui wartawan, Senin (7/7/2025).

Hingga April 2025, penyaluran kredit oleh BPR dan BPRS di Jawa Tengah tercatat mengalami kontraksi sebesar 2,75% (year-on-year/yoy) dengan rasio kredit bermasalah atau non-performing loan (NPL) gross 16,69%. Sementara di DI Yogyakarta, penyaluran kredit tumbuh positif 2,50% (yoy), namun dengan tingkat NPL gross yang juga tinggi di angka 12,69%.

Hidayat menyebut secara umum kondisi sektor BPR di Jawa Tengah masih relatif stabil. Ada sekitar 330-an BPR dan BPRS yang beroperasi di wilayah Jawa Tengah. Hidayat mengungkapkan bahwa mayoritas bank rakyat itu masih dalam kategori sehat, meskipun ada beberapa yang perlu penanganan khusus.

Lebih lanjut, Hidayat menekankan pentingnya percepatan pemenuhan modal inti minimum sebagai langkah mitigasi atas risiko yang membayangi sektor BPR dan BPRS.

“Kita memang perlu komitmen yang lebih tinggi dari pemegang saham pengendali. Kaitannya dengan konsolidasi perbankan BPR dan BPRS. Itu sudah menjadi strategi utama OJK. Karena kami yakin bahwa itulah yang akan menguatkan industri BPR,"

Dalam konteks penguatan kelembagaan, OJK juga terus mendorong penerapan prinsip Governance, Risk, dan Compliance (GRC) sebagai standar tata kelola industri keuangan. Langkah ini diwujudkan melalui pembentukan Forum GRC yang ditandai dengan kegiatan diskusi di Kota Semarang. Acara yang berlangsung secara bauran itu diikuti oleh lebih dari 1.000 peserta dari sektor jasa keuangan, baik secara daring maupun luring.

“Forum GRC akan difokuskan untuk mendorong stabilitas sektor jasa keuangan melalui tiga pilar utama. Yaitu, OJK sebagai otoritas dan regulator yang kredibel, industri jasa keuangan yang sehat, serta konsumen yang terliterasi dan terlindungi,” jelas Hidayat.

Tiga pilar ini kemudian dijabarkan menjadi tiga kebijakan utama yaitu tata kelola yang kuat, konsolidasi dan konglomerasi keuangan, serta penguatan integritas sektor keuangan.

“OJK menerapkan itu secara tegas, bahwa seluruh fungsi itu sesuai dengan ketentuannya agar berjalan fungsinya, untuk menjaga sektor jasa keuangan, perusahaan keuangan, bisa berjalan dengan sehat, tumbuh, stabil, dan melindungi masyarakat,” ujarnya.


Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News dan WA Channel

Editor : Ajijah
Bisnis Indonesia Premium.

Dapatkan informasi komprehensif di Bisnis.com yang diolah secara mendalam untuk menavigasi bisnis Anda. Silakan login untuk menikmati artikel Bisnis Indonesia Premium.

Artikel Terkait

Berita Lainnya

Berita Terbaru

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

# Hot Topic

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Rekomendasi Kami

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Foto

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Scan QR Code Bisnis Indonesia e-paper