Sejarah panjang konflik di Keraton Solo
Melansir dari Solopos, konflik berebutan kekuasaan Keraton Solo ini sudah berlangsung hampir 17 tahun. Hal ini dimulai setelah PB XII mangkat pada 12 Juni 2004.
Saat itu Raja yang tak memiliki permaisuri tidak menunjuk putra mahkota. Akibatnya anak keterunan PB XII saling klaim sebagai pewaris tahta. Dua kubu saling mendeklarasikan diri sebagai raja Keraton Solo.
Mereka adalah Hangabehi, yang kala itu didukung kerabat Keraton lainnya. Hangabehi merupakan putra tertua dari selir ketiga PB XII mendeklarasikan diri sebagai PB XIII pada 31 Agutsus 2004.
Kemudian ada Tedjowulan, yang juga putra PB XII namun dari selir yang berbeda, ikut mendeklarasikan diri sebagai PB XIII pada 9 November 2004.
Saat itu Tedjowulan masih aktif sebagai anggota TNI berpangkat Letkol (Inf). Sejak itulah, Keraton Solo mulai memiliki dua raja alias raja kembar.
Perebutan tahta terus berlanjut hingga keduanya memutuskan untuk berdamai pada 2012 saat Joko Widodo masih menjabat sebagai Wali Kota.
Hasil kesepakatan keduanya itu membuahkan hasil, Hangabehi menjadi raja, sedangkan Tedjowulan menjadi mahapatih dengan gelar KGPH (Kanjeng Gusti Pangeran Haryo) Panembahan Agung.
Sayangnya, Hangabehi dilarang masuk ke lingkungan keraton setelah beberapa kali terlibat kasus. Sejumlah pintu masuk raja menuju gedung utama Keraton Solo dikunci dan ditutup dengan pagar pembatas.
Dari situ, PB XIII Hangabehi bersatu dengan Tedjowulan dan tak bisa bertahta di Sasana Sewaka Keraton Solo.
Lembaga Dewan Adat yang dibentuk atas konflik ini justru tidak memecahkan masalah tahta ini hingga sekarang.