Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Semangat Albitec Perkenalkan Industri Mikroalga Spirulina

Pabrik dengan kapasitas produksi mikroalga hingga 500 kilogram per bulan itu dijalankan dengan bauran Energi Baru Terbarukan (EBT) dan sambungan listrik PLN.
Falasifah, Direktur Eksekutif PT Alga Bioteknologi Indonesia (Albitec). /Bisnis - M. Faisal Nur Ikhsan
Falasifah, Direktur Eksekutif PT Alga Bioteknologi Indonesia (Albitec). /Bisnis - M. Faisal Nur Ikhsan

Bisnis.com, SEMARANG - Kota Semarang tak cuma dipadati oleh industri manufaktur di sektor garmen dan tekstil. Ada PT Alga Bioteknologi Indonesia (Albitec) yang berlokasi di ujung selatan Kota Semarang, tepatnya di Kecamatan Gunungpati.

Perusahaan yang berdiri pada 2017 itu bisa dibilang sebagai satu-satunya pabrik mikroalga berskala industri dengan fasilitas produksi terbesar dan terluas di Kota Lumpia.

Albitec memproduksi mikroalga jenis spirulina yang banyak ditemui di perairan Indonesia. Produk akhirnya dimanfaatkan menjadi suplemen makanan, bahan perawatan kecantikan, juga pakan ternak dan pupuk buat tanaman. Falasifah, Direktur Eksekutif Albitec, mengungkapkan ada pengalaman personal yang kuat di awal perkenalannya dengan spirulina itu.

"Budhe saya sakit diabetes, ini memperkenalkan saya dengan spirulina. Tapi dulu mahal, karena banyaknya masih impor dari Malaysia dan Korea. Akhirnya saya coba di kos untuk mengembangkan spirulina, ternyata bisa dan dari akuarium alhamdulillah saya bertemu investor untuk mengembangkan ini," tutur Falasifah saat ditemui Bisnis pada Rabu (1/2/2023).

Jauh sebelum mengembangkan spirulina. Sifa, sapaan perempuan itu, memang jauh lebih akrab dengan isu keberlanjutan lingkungan hidup khususnya pada aspek kelautan. Hari-hari di masa perkuliahannya lebih sering dihabiskan sebagai aktivis yang membantu membersihkan laut di sekitaran Kota Semarang.

Ketika menjalankan perusahaannya, Sifa tak melepas bekal pengalamannya sebagai aktivis lingkungan itu. Justru, Albitec menjadi lahan percobaan Sifa untuk menerapkan prinsip-prinsip yang diperjuangkannya dulu.

Pabrik dengan kapasitas produksi mikroalga hingga 500 kilogram per bulan itu dijalankan dengan bauran Energi Baru Terbarukan (EBT) dan sambungan listrik PLN. Selain memanfaatkan energi hijau, Albitec juga menerapkan prinsip permakultur hingga pengelolaan sampah terintegrasi. "Orang bilang ini idealis sekali, tapi buat kami, ini proses untuk menjadi jalan tengah," ucapnya.

Albitec sendiri memasarkan spirulina dalam beberapa bentuk. Buat pasar ekspor, mikroalga berwarna biru kehijauan itu dipasarkan dalam bentuk bubuk dan serpihan atau flakes. Harganya bervaratif, tergantung kualitas dan peruntukannya. Untuk spirulina bubuk dengan kualitas terbaik, Albitec mematok harga sekitar Rp1 juta per kilogramnya. Sementara yang termurah, untuk keperluan pakan ternak, dibandrol di Rp350.000 per kilogram.

Di pabrik yang berlokasi di wilayah Gunungpati, Kota Semarang, Albitec mengurus 16 kolam dengan kapasitas 25.000 liter per kolamnya. Perusahaan itu juga punya mesin pengering dengan kapasitas 20-30 kilogram per lapisan yang ditenagai oleh Pembangkit Listrik Tenaga Surya (PLTS) dan Pembangkit Listrik Tenaga Bayu (PLTB)

Saat ini, Albitec telah menerima pesanan ekspor dengan permintaan hingga 9 ton tiap bulannya. "Kami mencoba untuk menguasai pasar Eropa. Insyaallah di April ini kita akan ke Jerman untuk melakukan pameran. Di Indonesia sendiri kita masih coba target di 10 persen pasar dalam negeri. Itu untuk tahun ini," jelas Sifa.

Produk spirulina bubuk yang dipasarkan PT Alga Bioteknologi Indonesia. Harga spirulina bubuk dibandrol cukup variatif, mulai ratusan ribu hingga jutaan rupiah, tergantung kualitas dan peruntukannya.
Produk spirulina bubuk yang dipasarkan PT Alga Bioteknologi Indonesia. Harga spirulina bubuk dibandrol cukup variatif, mulai ratusan ribu hingga jutaan rupiah, tergantung kualitas dan peruntukannya.

Besarnya permintaan pasar mancanegara akan produk spirulina itu mendorong Albitec buat menjalin kemitraan dengan masyarakat. Komunikasi dan pembinaan dilakukan dengan masyarakat desa dari Kabupaten Kudus di Jawa Tengah, hingga Kabupaten Blitar di Jawa Timur.

"Sistemnya setengah tahun pendampingan untuk teknik kultivasi. Baru mereka bisa setor ke kita. Sekarang memang belum ada, tapi proyeksinya setiap galon menghasilkan 50 gram. Dikali mereka punya berapa. Di Kudus, mereka sekarang punya 62 galon, sekitar 3 kilogram sekian," jelas Sifa.

Albitec berupaya untuk menjalin kerja sama yang inklusif dengan masyarakat luas. Mikroalga yang diperkenalkan pun dipersilakan untuk dimanfaatkan masyarakat secara luas. "Tidak harus disetor ke Albitec, mau dikembangkan buat suplemen pakan lele, dikonsumsi sendiri, tidak masalah. Bahkan ada yang sudah bereksperimen dengan nutrisinya. Mereka yang mengajari kami," terang Sifa.

Keterbukaan itu menjadi bagian dari kredo yang dipegang teguh Albitec. Sifa mengungkapkan bahwa bagi perusahaan rintisan itu, selain omzet, inovasi dan dampak ke masyarakat juga sangat penting buat dikejar. "Ada metric impact di kami, katakanlah dampak Environmental, Social, dan Governance (ESG). Metriknya berapa, apakah kita sudah sampai mempengaruhi kebijakan, dan sebagainya. Ini masih sangat relevan [sebagai perusahaan]," jelasnya.

Kredo itu juga diwujudkan dengan membuka akses seluas-luasnya buat pelajar dan mahasiswa yang ingin menimba ilmu soal mikroalga. Sifa mengungkapkan, ada sekitar 10 pekerja yang disebutnya sebagai civitas. Kultur perusahaan dibangun lewat arahan pagi dan Scrum Meeting. Kultur perusahaan yang dinamis dan fleksibel itulah yang membuat banyak milenial tertarik dan ikut belajar di Albitec.

Sifa menambahkan, baik pekerja hingga pelajar dan mahasiswa yang magang di Albitec mendapatkan perlakuan yang sama. Perusahaan itu terbuka untuk mengajarkan teknik budidaya mikroalga, namun tentunya dengan tetap membatasi akses kekayaan intelektual yang jadi rahasia perusahaan. Di luar hal tersebut, Sifa menyebut pintu Albitec selalu terbuka lebar buat siapapun, termasuk ke masyarakat luas.

Tak heran jika belakangan Albitec begitu diminati masyarakat luas. Sistem kemitraan yang bersifat inklusif secara tidak langsung mendorong masyarakat agar berani bereksperimen untuk memanfaatkan mikroalga tersebut.

"Kami fokus ke bagaimana menyampaikan brand ini ke masyarakat. Kita bisa menyebut spirulina, tapi masyarakat belum tentu. Paling mentok alga. Makanya kami perkenalkan dengan cara 'Seeing is Believing'. Ngobrol dengan petani langsung, dengan contoh. Itu yang kita lakukan seperti itu. Makanya kita ke masyarakat tidak banyak sosialisasi, lebih banyak dengan praktik," jelas Sifa.


Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News dan WA Channel

Topik

Konten Premium

Dapatkan informasi komprehensif di Bisnis.com yang diolah secara mendalam untuk menavigasi bisnis Anda. Silakan login untuk menikmati artikel Konten Premium.

Artikel Terkait

Berita Lainnya

Berita Terbaru

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

# Hot Topic

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Rekomendasi Kami

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Foto

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Scan QR Code Bisnis Indonesia e-paper