Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Manufaktur Jateng: Secercah Asa dari Sektor Anyar

Masuknya industri elektronik, komponen baterai, hingga panel surya diharapkan mampu menciptakan lapangan kerja baru.
Pengunjung melihat pameran mobil di salah satu pusat perbelanjaan di Jakarta. Bisnis/Fanny Kusumawardhani
Pengunjung melihat pameran mobil di salah satu pusat perbelanjaan di Jakarta. Bisnis/Fanny Kusumawardhani

Bisnis.com, SEMARANG - Realisasi investasi di Jawa Tengah mulai nampak memberikan pengaruh besar pada keberagaman sektor industri pengolahan di wilayah tersebut.

Hingga paruh kedua tahun 2024, Kawasan Industri Terpadu Batang (KITB) serta Kawasan Industri Kendal (KIK) menjadi primadona masuknya investor di sektor baru manufaktur. Pada awal Oktober, Orbia Building & Infrastructure atau Wavin telah merampungkan proyek investasi senilai Rp825 miliar di KITB.

Di kawasan industri berstatus Proyek Strategis Nasional (PSN) itu, Wavin mendirikan pabrik pipa air berteknologi tinggi dengan pasar Asia Pasifik. Tak berselang lama, masih di KITB, PT Samator Indo Gas TBK. (AGII) juga telah mengoperasikan fasilitas Air Separation Plant (ASP) untuk memenuhi kebutuhan gas industri di dalam kawasan serta kebutuhan gas kesehatan di Jawa Tengah.

Di KIK, PT Hiron Indonesia Industry, perusahaan elektronik yang memproduksi lemari pendingin komersial, juga telah meresmikan fasilitas produksi yang nilai investasinya mencapai Rp820 miliar. KIK juga menjadi rumah dari pabrik katoda Lithium Iron Phospate (LFP) milik PT LBM Energi Baru Indonesia. Pabrik itu menanamkan investasi sebesar US$350 juta atau setara Rp5,4 triliun.

Menteri Koordinator Bidang Maritim dan Investasi, Luhut Binsar Pandjaitan, dalam kunjungannya ke KIK menyebut kehadiran pabrikan komponen baterai tersebut bakal memperkuat posisi Indonesia dalam rantai pasok kendaraan listrik dunia. Tak hanya itu, kehadiran PT LBM Energi Baru Indonesia juga menjadi bukti respon positif investor mancanegara akan potensi Indonesia.

"Banyak sekali yang sedang berjalan, yang orang senang melihat Indonesia karena kredibilitas negeri ini lebih baik," ucap Luhut pada Selasa (8/10/2024) pekan lalu.

Kehadiran industri-industri baru itu tentunya membawa harapan tersendiri buat Jawa Tengah. Terlebih di tengah gelombang Pemutusan Hubungan Kerja (PHK) yang masih terjadi hingga hari ini.

Data Kementerian Ketenagakerjaan menyebutkan bahwa hingga September 2024, tercatat 14.767 orang pekerja asal Jawa Tengah telah kehilangan pekerjaan. Jumlah tersebut jadi yang terbesar di Indonesia, dimana secara kumulatif jumlah pekerja yang mengalami PHK telah mencapai 52.993 orang.

Fenomena gelombang PHK di Jawa Tengah umumnya dirasakan oleh sektor Tekstil dan Produk Tekstil (TPT). Bahkan, menurut Aulia Hakim, Sekretaris Konfederasi Serikat Pekerja Indonesia (KSPI) Provinsi Jawa Tengah, gelombang PHK mulai meluas ke sektor industri lainnya.

"Ini sudah merembet sampai ke sektor otomotif. Di bagian sub-kontraktor seperti kabel. Cuma kalau di Jawa Tengah, PHK masih di tekstil, garmen, alas kaki, beberapa farmasi dan mebel. Data di kami paling besar di garmen," ungkapnya kepada Bisnis.

Ada beberapa faktor yang disinyalir menjadi penyebab. Mulai turunnya permintaan baik di pasar global maupun lokal. Hingga faktor bahan baku yang dirasa langka dan terlalu mahal. Tentunya dua faktor tersebut hanyalah gambaran singkat dan cenderung menyederhanakan permasalahan yang ada.

Sebagaimana yang disampaikan Ekonom Universitas Diponegoro, Wahyu Widodo. "Maraknya perusahaan yang kolaps sehingga berkonsekuensi ke PHK bukan sekedar argumentasi karena demand turun, ada banyak faktor," ucapnya. Dari sekian banyak faktor yang saling berkaitan itu, Wahyu menjelaskan bahwa faktor mendasar yang menyebabkan ambruknya industri TPT di Jawa Tengah adalah masalah daya saing.

"Yang kolaps itu kalau dipetakan satu per satu, itu memang daya saingnya rendah. Sehingga, ketika ada kompetisi, apalagi saat permintaannya menurun, mereka akan terdampak lebih dulu," tambahnya.

Sektor Baru Tak Bebas RisikoKehadiran industri baru di Jawa Tengah tak berarti menyelesaikan masalah fundamental tersebut.

Wahyu menjelaskan bahwa Jawa Tengah yang selama ini mengandalkan sektor TPT sebagai pendorong utama lapangan usaha manufaktur mestinya telah mempersiapkan diri sejak jauh-jauh hari sebelum melakukan transisi atau perluasan sektor industri.

Dia khawatir, tanpa persiapan yang cukup, alih-alih menciptakan lapangan kerja baru, kehadiran sektor industri baru itu justru menambah masalah bagi Jawa Tengah.

"Ingat, tenaga kerja itu market mechanism yang membebaskan siapapun yang memiliki kualifikasi untuk masuk ke dalam bursa tenaga kerja. Kalau Batang dan Kendal tidak bisa memberikan suplai yang dibutuhkan untuk match dengan industri, pengangguran bisa tidak menurun karena ternyata pekerjanya berasal dari luar daerah yang memang skill-nya match dengan yang dibutuhkan," jelas Wahyu.

Tantangan lain yang mesti diantisipasi adalah daya saing dari perusahaan-perusahaan baru tersebut. Hal tersebut juga diamini oleh Luhut.

Dalam konteks industri baterai kendaraan listrik, Luhut menyebut bahwa Indonesia telah memiliki daya tarik di mata investor lantaran menawarkan biaya investasi yang rendah dan aksesibilitas dengan material bahan baku. Wahyu melanjutkan bahwa upaya untuk meningkatkan daya saing perusahaan di Jawa Tengah mesti dilakukan dengan mempertimbangkan berbagai opsi.

"Harus dikembalikan ke akar masalahnya. Apakah [perusahaan-perusahaan tersebut] akan merger dengan yang lain, atau membuat semacam holding, atau kah memperbaiki mesin. Itu harus dilihat semua," ucapnya.

Lebih lanjut, KITB serta KIK sebagai destinasi investasi unggulan Jawa Tengah juga perlu dipoles dengan hati-hati. Wahyu memperingatkan bahwa kedua kawasan industri tersebut mesti bisa berjalan beriringan.

"Jangan sampai ada prodding out, maksudnya jalan bareng tetapi yang satu mematikan yang lain. Jangan sampai seperti itu," tegasnya.

Wahyu memberikan contoh lewat pengembangan fasilitas pelabuhan di dua kawasan industri tersebut. Sejak awal diperkenalkan, KIK belum memiliki aksesibilitas pelabuhan secara langsung. Proyek pembangunan memang telah disiapkan, namun di saat yang sama, fasilitas serupa mulai dikebut pembangunannya di KITB.

"Kalau Kendal tidak [diselesaikan] dan Batang jadi prioritas, ini kemudian menjadi problem. Berarti yang di Kendal akan 'dikorbankan' sehingga margin transportasi dan lain-lainnya akan berbeda dengan Batang," lanjutnya.

Ketimbang berharap banyak pada sektor industri baru, Wahyu menyampaikan bahwa akan lebih bijak jika Pemerintah Provinsi Jawa Tengah fokus untuk menciptakan ekosistem industri yang lebih berkelanjutan. Terlebih dengan visi Jawa Tengah sebagai penopang pangan dan manufaktur Nasional yang tertuang dalam Rencana Pembangunan Jangka Panjang Daerah (RPJPD) 2025-2045.

"Dari sisi industri itu masih jadi tantangan yang berat tanpa langkah strategis untuk membangun ekosistem," ucap Wahyu.


Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News dan WA Channel

Konten Premium

Dapatkan informasi komprehensif di Bisnis.com yang diolah secara mendalam untuk menavigasi bisnis Anda. Silakan login untuk menikmati artikel Konten Premium.

Artikel Terkait

Berita Lainnya

Berita Terbaru

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

# Hot Topic

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Rekomendasi Kami

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Foto

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Scan QR Code Bisnis Indonesia e-paper