Bisnis.com, SEMARANG - Perhimpunan Hotel dan Restoran Indonesia (PHRI) Kota Surakarta mengungkapkan dua tantangan besar yang jadi perhatian pelaku industri perhotelan di tahun 2025 mendatang.
Wening Damayanti, Wakil Ketua Bidang Hubungan Masyarakat PHRI Kota Surakarta, menyebut kenaikan Pajak Pertambahan Nilai (PPN) menjadi salah satu kekhawatiran utama.
"Ini masih menjadi polemik, karena di Kota Surakarta sendiri, sepanjang 2024 industri hotel, restoran, dan kafe (Horeka) adalah penyumbang Pendapatan Asli Daerah (PAD) terbesar," ucap Wening, dikutip Senin (30/12/2024).
Kebijakan yang diambil pemerintah itu diharapkan tak menambah beban yang mesti ditanggung oleh pelaku pariwisata, khususnya sektor horeka. Untuk itu, PHRI menjalin audiensi dengan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (DPRD) Kota Surakarta untuk merumuskan solusi yang paling tepat atas kebijakan kenaikan PPN tersebut.
Kenaikan tarif PPN itu belum dipastikan bakal memengaruhi harga kamar hotel, baik berbintang maupun nonbintang, di Kota Surakarta. Pasalnya, penganggaran atau budgeting hotel biasa dilakukan jauh sebelum akhir tahun. Artinya, pelaku industri perhotelan sebetulnya telah menyusun rencana penentuan harga untuk tahun 2025 sejak bulan Agustus-Oktober 2024 lalu.
"Setelah ketok palu, ada regulasi pemerintah yang baru berjalan. Otomatis kami harus melakukan penyesuaian. Dalam hal ini, kami belum bisa memastikan apakah kenaikan tarif kamar akan disesuaikan dengan kenaikan tarif PPN, atau cukup bertahan dengan rencana kenaikan harga di tahun sebelumnya," jelas Wening saat dihubungi Bisnis.
Baca Juga
Tanpa kenaikan tarif PPN pun, Wening menuturkan bahwa setiap tahunnya manajemen hotel bakal mempertimbangkan beberapa indikator perekonomian di daerah untuk menentukan kenaikan harga tarif kamar. Beberapa indikator yang menjadi perhatian antara lain Upah Minimum Kabupaten/Kota (UMK), pajak, juga biaya listrik dan air.
Wening mengkhawatirkan kenaikan harga tarif kamar bakal memberikan pengaruh negatif bagi daya beli tamu yang menginap di hotel. Jika hal tersebut terjadi, imbas turunannya adalah penurunan okupansi kamar karena tamu memilih untuk menunda untuk menginap ataupun membuat acara di hotel.
Lebih lanjut, pelaku industri perhotelan juga mengkhawatirkan kebijakan pemerintah terkait larangan untuk menggelar agenda rapat di hotel. "Saat aturan itu dikeluarkan, di hari pertama, satu hotel bisa mengalami kerugian hingga ratusan juta. Itu baru di Kota Surakarta, belum di kota lain," ujar Wening.
Secara khusus, kebijakan itu dikhawatirkan bakal berdampak aktivitas Meeting, Incentive, Conference, dan Exhibition (MICE) yang diselenggarakan pemerintah. "Khususnya untuk market perjalanan dinas, ini mungkin akan banyak ditahan di tahun 2025 besok," lanjutnya.
Terlepas dari dua tantangan utama tersebut, Wening mengungkapkan bahwa pelaku industri perhotelan di Kota Surakarta masih optimis untuk menyambut tahun 2025. Keyakinan tersebut diperkuat dengan tingginya antusiasme masyarakat untuk berlibur di momen Natal dan Tahun Baru (Nataru) tahun ini.
"Sekarang yang namanya piknik, jalan-jalan, sudah bukan menjadi kebutuhan sekunder lagi. Bahkan, aktivitas ini sudah menjadi rutinitas bagi sebagian masyarakat. Kayaknya setiap bulan harus ada pikniknya," ujarnya.