Dibebani Target Tinggi tapi Fiskal Terbatas
Alarm Ketimpangan Fiskal
Peristiwa ini, alih-alih sekadar menjadi drama politik lokal, sesungguhnya adalah manifestasi dari kegagalan struktural pasca-implementasi UU No. 1/2022 tentang Hubungan Keuangan antara Pemerintah Pusat dan Pemerintahan Daerah (HKPD).
Geger di Pati membuka tabir dilematis yang selama ini dihadapi pemerintah daerah. Mandat pembangunan yang tinggi, namun dengan kapasitas fiskal yang tidak sepadan.
Padahal, pembangunan di bidang kesehatan, pendidikan, perikanan, pertanian, serta infrastruktur jalan yang menjadi prioritas bagi Pemerintah Kabupaten Pati memerlukan anggaran yang tidak sedikit.
Kondisi itu kian berat untuk diwujudkan dengan anggaran Pendapatan Asli Daerah (PAD) Kabupaten Pati yang hanya berkisar di angka Rp300-400 miliar setiap tahun.
UU HKPD telah memberikan kewenangan bagi pemerintah kabupaten dan kota untuk mengelola PBB-P2 sebagai bagian dari otonomi daerah.
Beleid itu juga memberikan peluang sekaligus keleluasaan bagi pemerintah daerah untuk mencari pembiayaan alternatif, dari pinjaman, obligasi dan sukuk, hingga pembentukan dana abadi demi menjaga kondisi fiskal.
Baca Juga
Meski demikian, pembiayaan pembangunan melalui skema PAD jelas jauh lebih realistis dan mudah dilakukan.
"UU HKPD mengatur tarif PBB-P2 itu diperkenankan maksimal sampai 5%. Memang, kenaikan [PBB-P2 di Kabupaten Pati sebesar] 250% itu masih dalam rentang yang diatur UU HKPD. Karena Perda yang berlaku sekarang kan 0,1% menjadi 0,35%," kata Ahmad Syakir Kurnia, Guru Besar sekaligus Ekonom Universitas Diponegoro, saat dihubungi pada Jumat (8/8/2025).
Reformasi fiskal yang coba dibawa UU HKPD pada praktiknya memang masih menyisakan banyak masalah seperti ketergantungan daerah akan transfer dana dari pusat, seperti Dana Bagi Hasil (DBH), Dana Alokasi Umum (DAU), Dana Alokasi Khusus (DAK), Dana Otonomi Khusus, Dana Istimewa, dan Dana Desa.
Nahasnya, ada Rp50,59 triliun anggaran transfer ke daerah yang dipangkas Sri Mulyani, Menteri Keuangan, dalam struktur Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) tahun ini.
Belum lagi, sejumlah program prioritas pemerintah pusat mulai dari Makan Bergizi Gratis (MBG), Koperasi Desa/Kelurahan Merah Putih (KDMP), hingga target swasembada pangan turut menciptakan defisit fiskal vertikal yang tidak sehat.
"Pemerintah pusat sepertinya kok tidak adil dalam konteks antara pusat dan daerah. Yang akhirnya terbebani adalah pemerintah daerah, kemudian ikut membebani rakyat jadinya," kata Syakir.
Langkah menaikkan PBB-P2 menjadi salah satu pilihan logis. Meskipun secara legal kenaikan ini masih dalam koridor UU HKPD yang menetapkan batas maksimum 5%, dampaknya secara ekonomi jauh dari ideal. Syakir menyebut bahwa kenaikan pajak yang signifikan ini berpotensi memicu efek kontraksi ekonomi.
Konsumsi rumah tangga, secara umum, memberikan porsi terbesar dalam struktur Produk Domestik Regional Bruto (PDRB).
Kenaikan beban pajak akan mengurangi daya beli dan konsumsi masyarakat, yang pada gilirannya akan menekan pertumbuhan ekonomi lokal.
Upaya untuk mendongkrak PAD melalui kenaikan pajak justru akan memperlambat, atau bahkan membalikkan, pertumbuhan ekonomi yang ditargetkan.
"Tambahan beban keuangan bagi masyarakat ini akan memengaruhi sisi demand. Konsumsi yang utama, itu langsung memberi dampak berganda terhadap output. Apalagi sekarang ada fenomena Rojali (Rombongan Jarang Beli) dan Rohana (Rombongan Hanya Nanya), itu akan semakin memperburuk situasi," ucap Syakir.
Melihat angka Produk Domestik Regional Bruto (PDRB) tahun 2024 berdasarkan harga berlaku, struktur perekonomian Kabupaten Pati relatif lebih baik dengan angka PDRB Rp59 triliun.
Daerah tetangga seperti Kabupaten Rembang dan Kabupaten Blora memiliki angka PDRB yang hanya sekitar Rp25-33 triliun. Artinya, beban fiskal tersebut bisa saja menjadi bom waktu bagi daerah-daerah lain di Jawa Tengah.
Kondisi ini menjadi ironi dari otonomi fiskal. Pemerintah daerah diberi wewenang untuk mengatur pajaknya, tetapi mereka tidak memiliki kontrol penuh atas sumber-sumber pendapatan yang jauh lebih besar, seperti Pajak Penghasilan (PPh) dan Pajak Pertambahan Nilai (PPN), yang sebagian besar diserap oleh pemerintah pusat.
Solusi yang ditawarkan untuk mengurai permasalahan ini tidaklah instan. Bukan dengan mengerem inisiatif pemerintah daerah untuk menaikkan pajak.
Justru, skema DAU harus direformulasi untuk menciptakan mekanisme insentif fiskal yang lebih adil, di mana sebagian porsi DAU dikembalikan ke daerah berdasarkan kontribusi pajak mereka kepada pusat.
"Penghasilan orang Pati, semua transaksi yang ada di Pati, itu pajaknya diambil oleh pemerintah pusat. Seharusnya, itu bisa dikembalikan lagi ke masyarakat dengan skema DAU," kata Syakir.
Reformulasi DAU juga diharapkan mampu mengurangi beban fiskal pemerintah daerah. Sehingga tidak perlu lagi ada kepala daerah yang mengalami dilema besar seperti yang dialami Sudewo, yang ditarget melakukan banyak program prioritas, tanpa dibekali kemampuan fiskal proporsional.
"Akan semakin berat untuk mengejar pertumbuhan ekonomi di angka 5%. Kasihan, pemerintah daerah pokoknya sekarang sedang kasihan," imbuh Syakir.