Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Penanganan Banjir Rob: Infrastruktur Bukan Solusi Tunggal

Kalangan akademisi mengimbau pemerintah untuk bisa mencari alternatif lain. Upaya penanggulangan yang berkelanjutan bisa jadi opsi.
Foto udara personel kepolisian dari Polsek Kesatuan Pelaksanaan Pengamanan Pelabuhan (KP3) Tanjung Emas Semarang bersama warga dan relawan bergotong royong menutup tembok kawasan industri atau tanggul yang jebol dengan konstruksi pagar bambu dan karung berisi pasir dan batu di kawasan industri Pelabuhan Tanjung Emas Semarang, Jawa Tengah, Rabu (25/5/2022)./Antara-Aji Styawan.
Foto udara personel kepolisian dari Polsek Kesatuan Pelaksanaan Pengamanan Pelabuhan (KP3) Tanjung Emas Semarang bersama warga dan relawan bergotong royong menutup tembok kawasan industri atau tanggul yang jebol dengan konstruksi pagar bambu dan karung berisi pasir dan batu di kawasan industri Pelabuhan Tanjung Emas Semarang, Jawa Tengah, Rabu (25/5/2022)./Antara-Aji Styawan.

Bisnis.com, SEMARANG – Banjir rob di kawasan Tanjung Emas perlu mendapat perhatian serius. Mulai Wali Kota Semarang Hendrar Prihadi hingga Gubernur Jawa Tengah Ganjar Pranowo menyebut perbaikan tanggul bakal dilakukan guna menanggulangi bencana banjir rob yang terjadi di kawasan Tanjung Emas.

Ganjar menyebut langkah tersebut sebagai solusi jangka pendek. Sejumlah proyek telah dimulai untuk mengantisipasi terjadinya bencana serupa di kawasan pantai utara Jawa Tengah. Misalnya saja dengan pembangunan tanggul laut di wilayah Pekalongan, juga penahan rob di sekitar Tol Semarang-Demak.

Namun demikian, kalangan akademisi menyangsikan upaya yang dilakukan pemerintah daerah itu bisa benar-benar menyelesaikan masalah. “Itu (perbaikan tanggul) kan namanya itu Cuma menyelesaikan masalah yang ada. Untuk jangka panjangnya itu bagaimana? Kan belum ada,” jelas Mila Karmila, Dosen Perencanaan Wilayah dan Kota Universitas Islam Sultan Agung (Unissula) Semarang, dikutip Rabu (25/5/2022). 

Menurut Mila, pemerintah mestinya bisa menemukan solusi-solusi lain yang lebih inovatif. Pasalnya, infrastruktur semacam tanggul laut yang diandalkan itu terbukti gagal menahan gelombang rob. “Yang kasihan kan sebetulnya masyarakat. Tambak Lorok banjir, Tambak Rejo banjir, Kemijen yang dari 2017 tidak pernah banjir itu kemarin sampai banjir, karena masuk dari arah pelabuhan. Artinya dia mendapat limpasan dari sana, banjir bukan karena hujan, tapi karena masuknya air ke daratan,” jelasnya.

Masuknya periode puncak pasang laut memang ditengarai jadi penyebab jebolnya tanggul di Kawasan Industri Lamicitra, Tanjung Emas. Namun, jika dilihat lebih jauh lagi, ada masalah besar yang menghantui kawasan pesisir utara Jawa Tengah. Fenomena land subsidence atau penurunan muka tanah telah menjadi momok yang menurut Mila telah diperingatkan kelompok akademisi sejak tahun 1990-an.

“Penelitian paling lama itu yang saya tahu pada tahun 1990-an sudah ada. Sejak ada pembangunan di kawasan utara [Jawa Tengah],” jelas Mila melalui sambungan telepon.

Dalam penelitian paling anyar misalnya, Lisa-Michéle Bott Peneliti dari Institute of Geography University of Cologne Jerman, menyebut penurunan muka tanah di Semarang telah mencapai 10 centimeter setiap tahunnya. Dalam penelitian yang dipublikasikan pada 2021 lalu, Bott menyebut banjir di kawasan Semarang tak hanya dipengaruhi oleh fenomena kenaikan air laut. Justru, penurunan muka tanahlah yang jadi penyebab utama.

Untuk itu, Bott menyebut diperlukan langkah mitigasi besar untuk menanggulangi masalah tersebut. Tak Cuma upaya-upaya repetitif dengan memperbaiki ataupun meninggikan bangunan maupun pemukiman di area terdampak. Salah satu upaya yang bisa dilakukan adalah dengan memberlakukan no-development zone di wilayah terdampak penurunan muka tanah. Dimana langkah serupa telah diuji coba di Jepang dan berhasil.

Mila juga menyampaikan beberapa upaya yang semestinya bisa dilakukan pemerintah guna menyelesaikan persoalan banjir rob. Sarannya tak jauh berbeda dari apa yang disampaikan Bott dalam paper-nya. “Tidak bisa hanya mengandalkan dengan konstruksi. Karena itu akan selalu melawan alam. Artinya, itu hanya sementara,” jelas Mila kepada Bisnis.

Mila menyebut upaya pengendalian pemanfaatan air tanah bisa dilakukan. Pasalnya, dengan cara itu, penurunan muka tanah di kawasan pesisir utara Jawa Tengah bisa diminimalkan. “Masalahnya, sekarang itu industri mengambil [air] bawah tanah. Karena air dangkalnya sudah jelek. Sekarang berarti pemerintah harus menyiapkan air, yang entah melalui PDAM entah apa, yang membuat industri tidak mengambil air bawah tanah. Karena kalau cuma membatasi, tapi kalau pemerintah tidak punya solusi menyediakan air bersih untuk industri itu jadi aneh juga,” jelasnya.

Sebagai informasi, pemanfaatan air permukaan di Jawa Tengah masih bisa dibilang minim. Pasalnya, pada periode 2019-2021 jumlah rumah tangga di Jawa Tengah yang telah memanfaatkan air permukaan tak sampai 1 persen. Pada 2021 misalnya, Badan Pusat Statistik (BPS) mencatat hanya 0,13 persen rumah tangga di Jawa Tengah yang menggunakan sumber air itu. Sementara itu, pada 2019 dan 2020, pemanfaatannya hanya berkisar di angka 0,17 persen dan 0,27 persen.

Untuk itu, menurut Mila, pemerintah mesti membenahi sistem penyediaan air baku. Khususnya di kawasan pesisir utara yang jadi pusat perdagangan dan industri. “Memang butuh inovasi untuk penyediaan air bersih sekarang di daerah pesisir. Ini yang harus dipikirkan ke depannya. Ini sama krusialnya dengan masalah pembebanan tanah [akibat pembangunan infrastruktur],” jelasnya.

Langkah lain yang bisa diambil adalah dengan melirik solusi-solusi yang berkelanjutan. “Yang lebih sustain itu seperti konservasi mangrove. Jadi nanti pada saat tanggul jebol masih ada penahan alami,” jelas Mila. Setali tiga uang, cara tersebut menurut Mila bisa mengurangi beban bangunan sekaligus mengurangi dampak penurunan muka tanah.

“Sehingga kalau pun [air pasang] masuk tidak seperti yang kemarin itu. Yang airnya cukup besar. Sehingga masyarakat masih bisa siap-siap. Ambil ancang-ancang. Kalau hanya mengandalkan konstruksi bangunan penahan gelombang, itu tidak bisa. Harus dibarengi konservasi,” tambahnya.


Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News dan WA Channel

Editor : Miftahul Ulum
Konten Premium

Dapatkan informasi komprehensif di Bisnis.com yang diolah secara mendalam untuk menavigasi bisnis Anda. Silakan login untuk menikmati artikel Konten Premium.

Artikel Terkait

Berita Lainnya

Berita Terbaru

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

# Hot Topic

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Rekomendasi Kami

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Foto

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Scan QR Code Bisnis Indonesia e-paper